Hasil Penelitian Drs. I Made Budi, M.S.
Buah merah pertama kali dikenalnya saat ia berada di lingkungan masyarakat pedalaman Wamena pada 1988. Ketika itu ia sedang meneliti jamur alam di daerah Kurulu, Wamena. Di sana masyarakat setempat menjadikan buah merah sebagai bagian dari konsumsi harian mereka. Dari informasi yang diperoleh, mereka jarang mengalami kasus penyakit degeneratif. "Data statistik setempat pun mencatat, mereka memiliki angka harapan hidup cukup tinggi," papar alumnus Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) IKIP Negeri Manado tahun 1985 itu.
Sayangnya, kesibukan sebagai dosen tak memberi kesempatan baginya untuk segera menemukan jawaban atas fakta itu. Peluang baru muncul 10 tahun kemudian saat ia menempuh pendidikan S2 di Program Pascasarjana IPB. Bidang ilmu Gizi Masyarakat dipilih lantaran obsesi itu.
Di Laboratorium Gizi IPB Made menganalisis kandungan buah merah. Hasilnya? P. conoideus mengandung senyawa-senyawa aktif berkhasiat dalam kadar tinggi. Yang paling menonjol ialah tingginya kandungan betakaroten dan tokoferol.
Untuk mengetahui aktivitas betakaroten dalam proses metabolisme, misalnya, kelahiran Werdi Agung, desa transmigran di Kecamatan Dumoga, Bolaangmongondouw, Sulawesi Utara, itu mencampurkan ekstrak buah merah ke dalam pakan ayam petelur. Ternyata kuning telur yang dihasilkan menjadi merah."Tandanya betakaroten terserap sempurna dalam proses metabolisme," paparnya.
Dalam sistem metabolisme, setiap molekul betakaroten akan menghasilkan 2 molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan. Penelitian pada ayam petelur membuktikan itu. "Ayam yang pakannya diberi ekstrak buah merah tidak terserang tetelo pada musim penyakit," papar Made.
Hal serupa dilakukan pada ayam potong untuk menguji aktivitas tokoferol yang dikandung buah merah. Ia mencampurkan ekstrak buah merah pada konsentrat keluaran pabrik. Pakan kemudian diberikan pada ayam pedaging berumur 1 bulan dengan dosis standar, 3 kali sehari. Setelah 4 bulan perlakuan, ternyata daging ayam benar-benar bebas lemak. Itu berarti tokoferol mampu menjalankan fungsinya untuk menekan pembentukan lemak tubuh.
Hasil uji aktivitas pada 2001 itulah yang meyakinkan Made, buah merah benar-benar bisa dimanfaatkan sebagai obat. Mengandalkan kadar tinggi betakaroten dan tokoferol sebagai senyawa antioksidan, ia percaya buah merah dapat mengatasi kanker. Apalagi obat alami itu didukung banyak metabolisme. Selain omega 3 dan omega 9—asam lemak tak jenuh yang gampang diserap tubuh, buah merah juga masih dilengkapi sejumlah vitamin dan mineral lain. Penelitian Made mengungkapkan, buah merah mengandung 3 senyawa antikanker yang sangat signifikan.
Ia tidak berhenti di situ. Dimodifikasinya pengolahan buah merah ala masyarakat pedalaman. Tujuannya supaya senyawa-senyawa aktif tidak hilang dan tahan lama. "Dengan begitu khasiat buah merah sebagai obat tidak berkurang," paparnya.
Mula-mula hasil olahannya diberikan kepada keluarga para tetangga di Kompleks BTN Kotaraja, Jayapura, yang menderita sakit. Karena terbukti ampuh, berita soal obat itu cepat menyebar. Berkat promosi getok tular, lebih dari 1.000 orang di berbagai daerah dan mancanegara kini telah merasakan khasiat obat temuannya. Penyakit yang disembuhkan beragam: kanker, tumor, kolesterol, asam urat, diabetes, hipertensi, flek paru, hepatitis, jantung koroner, mata, osteosporosis (rapuh tulang), hingga HIV/AIDS.
Sejak 2003 ia pun ikut membantu mengobati penderita HIV/AIDS di beberapa lembaga sosial di Jayapura, Wamena, Sorong, dan Merauke. "Itu salah satu solusi penting untuk memecahkan masalah HIV/AIDS di Papua," papar pria 44 tahun itu ketika Oktober lalu di salah satu kamar hotel di bilangan Jakarta Barat. Maklum, hingga Juni 2004 jumlah penderita HIV/AIDS di Papua tercatat 1.579 orang. Sebanyak 983 orang terinfeksi virus HIV dan 596 pasien positif mengidap AIDS.
Tak pernah terbersit di benak Made jika sari buah merah bakal melambungkan namanya. Bahkan, sampai membuat mata dunia tertuju ke provinsi di ujung timur Nusantara itu. Semula ahli gizi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Cenderawasih, Jayapura, itu hanya ingin mengungkap misteri kandungan gizi buah itu. Itu pun lantaran penasaran melihat kondisi fisik masyarakat pedalaman Wamena yang prima.
Informasi penting itu kemudian disebarkan kepada masyarakat. Bekerjasama dengan dinas-dinas terkait di Papua, ia aktif menyampaikan manfaat buah merah di berbagai seminar, lokakarya, dan sidang-sidang di DPRD Papua. Tanpa kenal lelah ia berbaur dengan masyarakat untuk membina dan melatih teknologi pengolahannya.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Bumi memang pernah berikrar untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, dan keahliannya demi kemajuan masyarakat Papua. "Kalau saya tinggalkan Papua, saya telah tinggalkan sesuatu buat mereka. Masyarakat akan mengenang hasil karya saya di sini." Impian itu kini terkabul. Berkat Made, buah merah mendunia dan menjadi modal berharga bagi masyarakat Papua.
Hasil Penelitian Farmasi ITB
Tidak ada satu pun professional dari kalangan medis yang meragukan manfaat buah merah untuk kesehatan. Namun, menyebutnya sebagai obat penyakit tertentu, nanti dulu! Apalagi kalau buah merah dicap sebagai penyembuh aneka penyakit degeneratif. Kebanyakan profesional yang paham benar aturan di dunia medis itu mempertanyakan tahap-tahap pengujian yang sudah dijalani oleh buah merah.
Salah satu pertanyaan yang paling sering terlontar ialah berapa dosis aman untuk dikonsumsi manusia? Apa dasar pemberian dosis itu? Kini pertanyaan tentang dosis itu sudah dijawab dengan riset ilmiah yang dilakukan oleh Prof Dr Elin Yulinah Sukandar dari Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA-ITB).
Elin, doktor Farmakologi alumnus ITB melakukan uji toksisitas akut pada mencit, Maret 2005. Ada 2 kelompok mencit yang dijadikan sebagai kelinci percobaan. Masingmasing terdiri atas 6 ekor: 3 jantan dan 3 betina berbobot 25-30 g. Mus cervicolor berumur 3 bulan itu dipuasakan selama 16 jam. Setelah itu sebuah kelompok diberi ekstrak sari buah merah dengan dosis 2 g; kelompok lain, 5 g per ekor.
Dosis pemberian itu mengacu pada OECD yang berpusat di Jepang. Lembaga itu sejak 2001 merekomendasikan 2 g sebagai dosis percobaan dari sebelumnya 5 g. Kemudian sampai 14 hari perilaku satwa yang aktif pada malam hari itu diamati. Ada 26 hal yang menjadi objek pengamatan Elin. Beberapa di antaranya apakah mencit mengalami tremor (tubuh bergetar), writhing (berjalan dengan menyeret perut), katalepsi (gangguan kemampuan menggantung), dan grooming (kaki kerap menggaruk-garuk mulut).
Hasilnya, pada mencit jantan tremor, writhing, dan katalepsi masing-masing 0%, sedangkan grooming 66,7%. Pada mencit betina tremor, writhing, dan katalepsi masing-masing juga 0%; grooming 33,3%. Itu berarti, "Dosis itu relatif aman," kata Prof Elin. Jika dikonversi ke manusia yang berbobot 70 kg, misalnya, dosis itu setara 240 g. Volume tiga sendok makan buah merah sekitar 45 ml setara 36 g.
Yang juga diiuji di jurusan Farmasi ITB adalah klaim buah merah sebagai antiinfeksi. Ini memang baru uji pendahuluan yang hasilnya amat menggembirakan. Prof Elin Yulinah Sukandar memanfaatkan 3 kelinci jantan berbobot masing-masing 2,5 kg. Di punggung—setelah kulit dikerok—setiap kelinci disuntikkan 3 cendawan/bakteri berbeda: Candida albicans, Staphylucoccus aureus, dan Microsporum gypseum. Menurut dr Willie Japaris Candida albicans cendawan penyebab penyakit infeksi pada saluran pernapasan, pencernaan, dan organ lain. Ia menyerang pasien yang memiliki kondisi tubuh lemah dan acap terjadi pada penderita HIV/AIDS.
Staphylucoccus aureus jenis kuman penyebab infeksi kulit hingga terjadi bisul atau luka bernanah. Ia juga menyerang saluran pencernaan dan pencernaan. Sedangkan Microsporum gypseum penyebab penyakit kulit, pemakan zat tanduk atau keratin, serta merusak kuku dan rambut. Selama 9 hari setelah penyuntikkan cendawan, Elin mengamati eritema alias pemerahan, eschar atau luka, dan pembentukan udem atau yang populer sebagai bengkak.
Sehari setelah diberi bakteri dan cendawan, indeks iritasi sedang pada skala 4. Artinya, eritema berat dan pembentukan eschar. Namun, setelah luka diolesi ekstrak buah merah hari ke-2, skala iritasi turun menjadi 3. Iritasi itu kian mengecil dan sembuh total pada hari ke-8 dan sebagian ke-9. Sebaliknya, kelinci yang tak diolesi ekstrak buah merah hingga hari ke-9 belum juga sembuh. Saat itu indeks iritasi pada skala 2 (eritema sedang-berat) alias masih tetap mengalami peradangan. Dengan uji itu buah merah amat berpotensi sebagai antiiritasi/infeksi.
Klaim buah merah sebagai antiinflamasi juga diteliti. Pada Maret 2005 Suwendar MSi menguji klaim itu pada 3 kelompok mencit—masing-masing 7 ekor. Kaki kiri belakang mencit disuntik dengan 0,05 ml karagenan supaya membengkak. Penanganan setiap kelompok berlainan.
Pembengkakan kaki sebuah kelompok diatasi dengan cara mengoleskan buah merah. Setelah itu luka ditutup dengan plastik transparan. Kelompok lain diolesi dengan obat lain yang telah mapan di pasaran. Obat itu mengandung metil salisilat. Pengolesan kedua obat itu sejam, 4 jam, dan 8 jam setelah penyuntikkan karagenan. Sebuah kelompok lagi tanpa perlakuan apa pun. Setelah itu luas pembengkakkan sebelum dan setelah pengolesan diukur dengan pletismometer. Hasil riset menunjukkan, buah merah tidak terlalu signifikan sebagai obat antiinflamasi.
Hasil Penelitian Farmasi UI
Riset toksisitas akut yang merupakan kerjasama dengan majalah Trubus juga ditempuh koleganya, Dr Yandiana Harahap dan Dra Syafrida Siregar Apt dari Jurusan Farmasi Universitas Indonesia. Hasil uji toksisitas mereka menunjukkan, LD50 mencit jantan sekitar 2,687 g/kg bobot tubuh; mencit betina, 6,714 g/kg bobot tubuh. "Potensi ketoksikan pada jantan, sedikit toksik dan pada betina hampir tak ada toksik," ujar Yandiana seperti tertera pada hasil pemeriksaan. Yandiana sepakat dengan Elin, dosis buah merah yang selama banyak dianjurkan cukup aman. "Harus ada penelitian lanjutan untuk mengetahui akumulasi konsumsi," katanya.
Uji lain juga diperlukan untuk mengetahui EDS, alias dosis efektif konsumsi buah merah. Dari angka itulah diketahui, Indeks Terapi (IT) dengan cara membagai LD50 dengan ED50. Menurut Dr Anas Subarnas dari Jurusan Farmasi Universitas Padjadjaran, "Makin tinggi Indeks terapi suatu obat berarti makin aman. Artinya jarak antara LD50 dan EDSC makin jauh. LD50 semakin tinggi, artinya konsumsi buah merah yang banyak pun masih aman."
(Sumber: Buku Keajaiban Buah Merah Kesaksian Dari Mereka Yang Tersembuhkan, Penulis Bernard T. Wahyu Wiryanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar